Bencana alam yang mendera, berbagai peristiwa yang memporak-porandakan umat manusia, makin membuka mata bahwa kita, manusia tidak punya kuasa apa pun. Namun, harus kita yakini bahwa Allah SWt pun tidak mungkin menjatuhkan bencana sekecil atau sedahsyat apa pun jika manusia itu tidak berperilaku buruk. Sebenarnya, manusialah yang menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana di muka bumi ini. Temuan investigasi Komnas HAM (Hak Asasi Manusia) menyebutkan, banjir bandang Wasior misalnya, akibat human error (kesalahan manusia) karena terjadi eksploitasi besar-besaran atas tanah di daerah tersebut. Yaitu aktivitas penambangan yang tak memandang pesoalan ekologis.
Anehnya, masih ada pihak-pihak termasuk presiden SBY sendiri yang menganggap hal itu hanya sebatas bencana alam biasa atau faktor alam an sich. Entah karena alas an politis atau apa pun, seakan menutup mata atas keadaan di tanah Papua yang benar-benar telah dieksploitasi secara hebat karena terjadi penambangan yang cukup masif dan destruktif oleh korporasi asing atau manusia-manusia yang tak bertanggung jawab.
Masyarakat pun kadang melihat bahwa bencana alam itu terjadi atas kehendak Allah SWT yang dalam istilah teologis, keyakinan semacam itu disebut sebagai masyarakat agamis yang menggariskan sesuatu berdasarkan paksaan Tuhan (Jabbariyah). Mereka meyakini bahwa Allah murka kepada penduduk negeri yang di dalamnya terdapat orang-orang yang rajin dan pandai membuat serta memelihara dosa-dosa. Keyakinan semacam itu jelas berbahaya karena Allah akan dipersalahkan sebagai biang dari segala bencana di dunia. Dalam bahasa Gottfried Leibniz (Roth, 2003: 151), Tuhan di situ seakan-akan menjadi terdakwa (blaming the God) karena terjadinya bencana. Padahal, Tuhan tak sepantasnya dipersalahkan sebab kemuliaan dalam eksistensi-Nya tak terpengaruh dengan adanya dosa-dosa atau kebaikan-kebaikan manusia di dunia. Manusialah yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia (blaming the men).
Dalam menjelaskan masalah bencana ala mini, mestinya masyarakat lebih menekankan pada teologi qodariyah, yaitu bahwa manusia diberi kehendak untuk berbuat sebebas-bebasnya tetapi manusia juga harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang sudah diperbuatnya. Oleh karena itu, jika terjadi bencana alam sebetulnya itu merupakan cermin seakan-akan Allah mempertanyakan sudah berbuat dan bertindak apa saja manusia di bumi ini.
Hasan Hanafi dalam karyanya Religion, Ideology and Developmentalism (1990) menawarkan apa yang dikenal sebagai teologi untuk memperlakukan bumi. Bagaimana semestinya bumi diperlakukan? Menurut Hanafi, bumi merupakan ciptaan Allah yang harus dikelola manusia secara baik dan benar.
Tak ada satu pun manusia yang sesungguhnya mengklain memiliki barang sejengkal pun terhadap bumu karena bumi ini milik-Nya. Oleh karena itu, tak dibenarkan jika manusia menjadi arogan ketika merasa memiliki tanah di bumi, seperti aktivitas penambangan yang eksploitatif, pengeboran atas kekayaan perut bumi yang semena-mena, pengerukan pasir laut dalam skala yang cukup besar, penggundulan hutan dan lain sebagainya. Segala tindakan dan perbuatan manusia itulah yang kemudian lambat laut akan membuat alam menjadi murka sehingga fenomena bencana alam tak bisa dihindarkan. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar-Rum: 41:
“Kerusakan di darat dan di laut yang tampak disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Maka, sebagai akibat dari perbuatannya (datanglah bencana) supaya manusia merasakan sebagian dari ulah dan perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Post Top Ad
Responsive Ads Here
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post Bottom Ad
Responsive Ads Here
Author Details
Seorang blogger sederhana yang ingin berbagi informasi dan hal-hal bermanfaat untuk semua orang.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih jika Anda bersedia memberikan komentar